A. Pengertian Pendidikan
George F. Kneller (Dwi Siswoyo, 1995: 5) mengatakan pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang luas, pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus seumur hidup.
Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses yang terjadi di dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), yang dengan sengaja mentransformasi warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dari generasi ke generasi. Sedangkan dalam arti hasil, pendidikan adalah apa yang diperoleh melalui belajar, baik berupa pengetahuan, nilai-nilai maupun keterampilan-keterampilan. Sebagai suatu proses, pendidikan melibatkan perbuatan belajar itu sendiri; dalam hal ini pendidikan sama artinya dengan perbuatan mendidik seseorang atau mendidik diri sendiri.
John Dewey (1916: 3) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang sangat luas diartikan sebagai cara atau jalan bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Setiap orang adalah bagian dari kelompok sosial yang terlahir dalam kondisi belum memiliki perangkat-perangkat kehidupan sosial seperti bahasa, keyakinan, ide-ide ataupun norma-norma sosial. Keberlangsungan kehidupan sosial itulah yang menjadi pengalaman hidup manusia. Selengkapnya, Dewey mengatakan sebagai berikut:
Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life. Everyone of the constituent elements of a social group, in a modern city as in a savage tribe, is born immature, helpless, without language, beliefs, ideas, or social standards. Each individual, each unit who is the carrier of the life-experience of his group, in time passes away.Yet the life of the group goes on.
Gerald L. Gutek (1988: 4) mengatakan bahwa pendidikan dalam pengertian yang sangat luas adalah keseluruhan proses sosial yang membawa seseorang ke dalam kehidupan berbudaya. Spesies manusia secara biologis melakukan reproduksi sebagaimana halnya makhluk hidup lainnya, tetapi dengan hidup dan berpartisipasi dalam sebuah kebudayaan, manusia secara bertahap mengalami proses ‖menjadi‖ sebagai penerima dan partisipan dalam sebuah kebudayaan. Banyak orang dan lembaga sosial yang terlibat dalam proses akulturasi generasi muda.
Selanjutnya, Gutek (1988: 4) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang lebih formal dan sempit terjadi di sekolah, yaitu suatu agensi khusus yang dibentuk untuk menanamkan keterampilan, pengetahuan dan nilai-nilai dalam diri subjek didik. Di sekolah terdapat guru-guru yang dipandang ahli dalam proses pembelajaran. Pendidikan informal berhubungan pula dengan pendidikan formal atau persekolahan. Program pengajaran, kurikulum dan metode mengajar harus dikaitkan dan disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat.
Ki Hadjar Dewantara (1977: 20) berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi- tingginya.
Dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli dan yang tercantum di dalam undang-undang, dapat diperoleh gambaran mengenai unsur- unsur esensial yang tercakup didalam pendidikan, yaitu:
1. Pendidikan dapat diartikan dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan, sikap, nilai-nilai, perilaku dan ketrampilan dari pendidik kepada peserta didik. Dalam arti luas, pendidikan adalah proses pembudayaan yang berlangsung sepanjang hidup manusia.
2. Pendidikan mengandaikan adanya hubungan antara dua pihak, yaitu pendidik dan subjek didik yang saling memengaruhi walaupun berbeda kemampuannya, untuk melaksanakan proses pendidikan
3. Pendidikan adalah proses sepanjang hayat yang tidak berhenti sampai manusia menghadapi kematian.
4. Pendidikan merupakan usaha yang menjadi ciri khas aktivitas manusia.
B. Berbagai Pengertian Filsafat Pendidikan
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai filsafat pendidikan. Kneller (1971: 4) mengatakan sebagai berikut:
Just a formal philosophy attemps to understand reality as a whole by explaining it in the most general and systematic way, so educational philosophy seeks to comprehend educationin its entirely, interpreting it by means of generals concept that will guide our choice of educational ends and policies. In the same way that general philosophy coordinates the findings of the different sciences, educational philosophy interprets these findings as they bear on education. Scientific theories do not carry direct educational implication; they cannot be applied to educational practice without first being examined philosophically.
Dari pendapat Kneller tersebut dapat dipahami bahwa filsafat dalam arti formal berusaha untuk memahami kenyataan sebagai suatu keseluruhan dengan menjelaskannya sedemikian rupa secara umum dan sistematis. Pernyataan Kneller sejalan dengan pendapat Ahmad Tafsir (2010: 5) yang mengatakan bahwa objek yang diteliti filsafat ialah objek yang abstrak; paradigma yang mendasari penelitiannya ialah paradigma rasional; metode penelitiannya disebut metode rasional.
Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama, filsafat umum mengkoordinasikan temuan-temuan dari berbagai cabang ilmu, dan filsafat pendidikan menafsirkan temuan-temuan ini untuk digunakan dalam bidang pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak memiliki implikasi langsung dalam pendidikan; teori-teori ini tidak dapat langsung diterapkan dalam praktik pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filsafati (Kneller, 1971: 5). Teori filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang pendidikan. Teori tersebut tidak
pernah dapat dibuktikan secara empiris. Di samping teori filsafat pendidikan, ada pula teori ilmu pendidikan. Teori ini adalah teori rasional dan ada bukti empiris tentang pendidikan (Tafsir, 2010: 6).
Selanjutnya, Kneller juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan bersandar pada filsafat umum atau filsafat formal; artinya masalah-masalah pendidikan juga merupakan bagian dari cara berpikir filsafat secara umum. Seseorang tidak dapat mengeritik kebijakan pendidikan yang ada atau menyarankan kebijakan yang baru tanpa memikirkan masalah-masalah filsafati yang umum seperti hakikat kehidupan yang baik sebagai arah yang akan dituju oleh pendidikan, kodrat manusia itu sendiri, sebab yang dididik itu adalah manusia; dan yang dicari adalah hakikat kenyataan yang terdalam, yang menjadi pencarian semua cabang ilmu. Maka, filsafat pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan (Kneller, 1971: 5).
Sebagaimana halnya dengan filsafat umum, filsafat pendidikan bersifat spekulatif, preskriptif, dan analitik. Bersifat spekulatif artinya bahwa filsafat membangun teori-teori tentang hakikat manusia, masyarakat dan dunia dengan cara menyusunnya sedemikian rupa dan menginterpretasikan berbagai data dari penelitian pendidikan dan penelitian ilmu-ilmu perilaku (psikologi behavioristik).
Filsafat bersifat preskriptif artinya filsafat pendidikan mengkhususkan tujuan-tujuannya, yaitu bahwa pendidikan seharusnya mengikuti tujuan-tujuan itu dan cara-cara yang umum harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Filsafat pendidikan bersifat analitik tatkala filsafat pendidikan berupaya menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif, menguji rasionalitas ide-ide pendidikan, baik konsistensinya dengan ide-ide yang lain maupun cara-cara yang berkaitan dengan adanya distorsi pemikiran. Konsep- konsep pendidikan diuji secara kritis; demikian pula dikaji juga apakah konsep- konsep tersebut memadai ataukah tidak, ketika berhadapan dengan fakta yang sebenarnya. Filsafat pendidikan berusaha menjelaskan banyak makna yang
Berbeda yang berhubungan dengan berbagai istilah-istilah yang banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti ‖kebebasan‖, ‖penyesuaian‖.
‖pertumbuhan‖, ‖pengalaman‖, ‖kebutuhan‖, dan ‖pengetahuan‖.
Penjernihan istilah-istilah tersebut akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakiki, maka kajian filsafati tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang filsafat yang bernama metafisika atau ontologi. Ontologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat pendidikan. Selain itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan pula landasan epistemologis dan landasan aksiologis.
C. Hubungan Filsafat dan Pendidikan
Filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan, baik pendidikan dalam arti teoritis maupun praktik. Setiap teori pendidikan selalu didasari oleh suatu sistem filsafat tertentu yang menjadi landasannya. Demikian pula, semua praktik pendidikan yang diupayakan dengan sungguh-sungguh sebenarnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati yang menjadi ideologi pendorongnya. Pemikiran filsafati tersebut berusaha untuk diwujudkan dalam praktik pendidikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Imam Barnadib bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan. John Dewey, seorang filsuf Amerika yang sangat terkemuka mengatakan bahwa filsafat merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan (Barnadib, 1994: 4)
Selanjutnya, Imam Barnadib mengatakan bahwa hubungan filsafat dan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Hubungan keharusan
Berfilsafat berarti mencari nilai-nilai ideal (cita-cita) yang lebih baik, sedangkan pendidikan mengaktualisasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan manusia. Pendidikan bertindak mencari arah yang terbaik, dengan berbekal teori-teori pendidikan yg diberikan antara lain oleh pemikiran filsafat .
2. Dasar pendidikan
Filsafat mengadakan tinjauan yang luas terhadap realita termasuk manusia, maka dibahaslah antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup.
Konsep-konsep ini selanjutnya menjadi dasar atau landasan penyusunan tujuan dan metodologi pendidikan. Sebaliknya pengalaman pendidik dalam realita menjadi masukan dan pertimbangan bagi filsafat utk mengembangkan pemikiran pendidikan. Filsafat memberi dasar-dasar dan nilai-nilai yang sifatnya das Sollen (yang seharusnya), sedangkan praksis pendidikan berusaha mengimplementasikan dasar-dasar tersebut, tetapi juga memberi masukan dari realita terhadap pemikiran ideal pendidikan dan manusia. Jadi, ada hubungan timbal balik di antara keduanya.
D. Manfaat Belajar Filsafat Pendidikan
Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tenaga keguruan dituntut untuk memikirkan masalah-masalah hakiki terkait pendidikan. Pemikiran mahasiswa menjadi lebih terasah terhadap persoalan-persoalan pendidikan baik dalam lingkup mikro maupun makro. Hal ini menjadikan mahasiswa lebih kritis dalam memandang persoalan pendidikan.
Di samping itu, mahasiswa yang mempelajari dan merenungkan masalah- masalah hakiki pendidikan akan memperluas cakrawala berpikir mereka sehingga dapat lebih arif dalam memahami problem pendidikan Sebagai intelektual muda yang kelak menjadi pendidik atau tenaga kependidikan sudah sewajarnya bila mereka dituntut untuk berpikir reflektif dan bukan sekedar berpikir teknis di dalam memecahkan problem-problem dasar kependidikan dengan menggunakan kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial yang melekat padanya.
E. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Pendidikan
Hal-hal yang menjadi kajian filsafat pendidikan sangat luas cakupannya,
yaitu:
1. Merumuskan secara tegas sifat hakiki pendidikan
2. Merumuskan hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan.
3. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan)
6. Merumuskan sistem nilai dan norma atau isi moral pendidikan yang menjadi tujuan pendidikan.
F. Rangkuman
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan merupakan cabang filsafat yang berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Sebagai cabang filsafat, pemikiran filsafati terhadap pendidikan juga mempunyai ciri spekulatif, preskritif, dan analitik.
Filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, karena filsafat mengandung hal-hal yang seharusnya dilaksanakan di dalam praktik pendidikan, demikian pula praktik pendidikan dapat menjadi bahan pemikiran reflektif mengenai pendidikan.
Manfaat belajar filsafat pendidikan lebih bersifat manfaat teoritis, bukan praktis-teknis, yaitu agar para peserta didik (mahasiswa) terbiasa untuk memahami persoalan hakiki pendidikan secara kritis, terbuka dan reflektif.