Saturday 22 March 2014

kajian filsafat dalam perspektif informasi dan komunikasi

                                                                       BAB 1
                                                               PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu nyata.
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai bagian  dari ilmu pengetahuan  dan teknologi (IPTEK) secara umum adalah semua  yang teknologi berhubungan dengan pengambilan, pengumpulan (akuisisi),  pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian informasi (Kementerian Negara Riset dan Teknologi, 2006: 6),Dalam makalah ini penulis membahas mengenai “Kajian Filsafat Ilmu (Epitemologi. Ontologis dan Aksiologi) dalam Perspektif Informasi dan Komunikasi”
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui  landasan epistemologis dalam kajian TIK
2. Untuk mengetahui landasan ontologis dalam kajian TIK
3. Untuk mengetahui landasan aksiologis dalam kajian TIK

                                                                       BAB II
                                                             PERMASALAHAN

Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh, menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar, hingga ke dasar.
Membicarakan pengaruh TIK pada berbagai bidang lain tentu memerlukan waktu diskusi yang sangat panjang. Dalam makalah ini, kaitan filsafat dengan TIK akan di bahas tanpa mengecilkan pengaruh TIK di bidang lain, bidang pembelajaran mendapatkan manfaat lebih dalam kaitannya dengan kemampuan TIK mengolah dan menyebarkan informasi.
Permasalahan dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah landasan epistemologis dalam kajian TIK?
2. Bagaimana landasan ontologis dalam kajian TIK?
3. Bagaimanakah landasan aksiologis dalam kajian TIK?


                                                                         BAB III
                                                                  PEMBAHASAN

A. LANDASAN ONTOLOGIS DALAM TIK
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
B. LANDASAN EPISTEMOLOGI DALAM KAJIAN TIK
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.


C. LANDASAN AKSIOLOGI DALAM TIK
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
D. KAITAN ANTARA FILSAFAT ILMU DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normative dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:
1. Ontologis: What It Is?
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
2. Epistemologis: How To Get?
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
3. Aksiologis: What For?
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan  ilmu-ilmu sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk mendefinisikan komunikasi. Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna menjelaskan objeknya yang abstrak itu.
Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf, kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika, yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun 1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi temuannya, yaitu:
1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya
Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat terlalu khusus, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2. Tingkat kesengajaan
Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.

3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan
Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran informasi untuk mendapatkan saling pengertian. Sedangkan yang tidak menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoritisi komunikasi:
1. Paradigma-1
Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, dan pesan itu harus diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan penerima. Implikasinya, jika pesan tidak diterima, tidak ada komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya, karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2. Paradigma-2
Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi penerima, apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tapi harus diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima. Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3. Paradigma-3
Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan sengaja, namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tapi tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator pengirim, pesan, dan target komunikan penerima. Ketika seorang teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini merupakan komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal lainnya?
Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini. Menemukan hakekatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik. Filsafat membawa kita kepada pemahaman & pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak. Tiga bidang kajian filsafat ilmu adalah epistemologis, ontologis, dan oksiologis. Ketiga bidang filsafat ini merupakan pilar utama bangunan filsafat.
Epistemologi: merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan. Epistemologi pada dasarnya adalah cara bagaimana pengetahuan disusun dari bahan yang diperoleh  dalam prosesnya menggunakan metode ilmiah. Medode adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang & mapan, sistematis & logis.
Ontologi: adalah cabang filsafat mengenai sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut  Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi ilmu sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Aksiologis: adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Litle John menyebutkan bahwa aksiologis, merupakan bidang kajian filosofis yang membahas value (nilai-nilai) Litle John mengistilahkan kajian menelusuri tiga asumsi dasar teori ini adalah dengan nama metatori. Metatori adalah bahan spesifik pelbagai teori seperti tentang apa yang diobservasi, bagaimana observasi dilakukan dan apa bentuk teorinya. ”Metatori adalah teori tentang teori” pelbagai kajian metatori yang berkembang sejak 1970 –an mengajukan berbagai metode dan teori, berdasarkan perkembangan paradigma sosial. Membahas hal-hal seperti bagaimana sebuah knowledge itu (epistemologi) berkembang. Sampai sejauh manakah eksistensinya (ontologi) perkembangannya dan bagaimanakah kegunaan nilai-nilainya (aksiologis) bagi kehidupan sosial. Pembahasan ; Berita infotainment dalam kajian filosofis. Kajian ini akan meneropong lingkup persoalan di dalam disiplin jurnalisme, sebagai sebuah bahasan dari keilmuan komunikasi, yang telah mengalami degradasi bias tertentu dari sisi epistemologis, ontologis bahkan aksiologisnya terutama dalam penyajian berita infotainment di televisi.
Dalam hal informasi, filsafat membantu memberikan pengetahuannya sebagai berikut:
1.  Kajian Aspek Epistemologis:
Dalam berita hal terpenting adalah fakta. Pada titik yang paling inti dalam setiap pesannya pelaporan jurnalisme mesti membawa muatan fakta. Setiap kepingan informasi mengimplikasikan realitas peristiwa kemasyatakatan. Tiap pesan menjadi netral dari kemungkinan buruk penafsiran subyektif yang tak berkaitan dengan kepentingan–kepentingan kebutuhan masyarakat. Charnley (1965 : 22.30) mengungkapkan kunci standardisasi bahasa penulisan yang memakai pendekatan ketepatan pelaporan faktualisasi peristiwa, yaitu akurat, seimbang, obyektif, jelas dan singkat serta mengandung waktu kekinian. Hal-hal ini merupakan tolok ukur dari ”The Quality of News” dan menjadi pedoman yang mengondisikan kerja wartawan di dalam mendekati peristiwa berita & membantu upaya tatkala mengumpulkan & mereportase berita. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.
2.  Kajian Aspek Ontologis
Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena tentang berita infotainment bukan gejala baru di dunia jurnalisme. Pada abad 19, pernah berkembang jurnalisme yang berusaha mendapatkan audiensnya dengan mengandalkan berita kriminalitas yang sensasional, skandal seks, hal-hal, yang menegangkan dan pemujaan kaum selebritis ditandai dengan reputasi James Callender lewat pembeberan petualangan seks, para pendiri Amerika Serikat, Alexande Hamilton & Thomas Jeferson merupakan karya elaborasi antara fakta dan desus-desus. Tahun itu pula merupakan masa kejayaan William Rudolf Hearst dan Joseph Pulitzer yang dianggap sebagai dewa-dewa ”Jurnalisme kuning.”
Fenomena jurnalisme infotainment kembali mencuat ketika terjadi berita hebohnya perselingkuhan Presiden Amerika ”Bill Clinton- Lewinsky”. Sejak saat itu seakan telah menjadi karakteristik pada banyak jaringan TV di dunia. Di Indonesia, fenomena ini juga bukan terbilang baru. Sejak zaman  Harmoko (Menteri Penerangan pada saat itu) banyak surat kabar–surat kabar kuning muncul & diwarnai dengan antusias masyarakat. Bahkan ketika Arswendo Atmowiloto menerbitkan Monitor semakin membuat semarak ”Jurnalisme kuning di Indonesia”. Pasca Orde Baru ketika kebebasan pers dibuka lebar-lebar semakin banyak media baru bermunculan, ada yang memiliki kualitas tetapi ada juga yang mengabaikan kualitas dengan mengandalkan sensasional, gosip, skandal dan lain-lain. Ketika tayangan Cek & Ricek dan Kabar Kabari berhasil di RCTI, TV lainnya juga ikut-ikut menayangkan acara gosip. Dari sinilah cikal bakal infotainment marak di TV kita. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi)
3.  Kajian pada aspek aksiologis
Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi.
E. PENGARUH EPISTEMOLOGI TERHADAP TIK
Bagi Karl R. Popper, epistemologi adalah teori pengetahuan ilmiah. Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan dalam membentuk dirinya. Tetapi, ilmu pengetahuan harus ditangkap dalam pertumbuhannya, sebab ilmu pengetahuan yang berhenti, akan kehilangan kekhasannya. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidka jarang temuan ilmu pengetahuan yang lebih dulu ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian. Perkemabangan ilmu pengetahuan dengan demikian membuktikan, bahwa kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat tentatif. Selama belum digugurkan oleh temuan lain, maka suatu temuan dianggap benar. Perbedaan hasil teman dalam masalah yang sama ini disebabkan oleh perbedaan prosedur yang ditempuh para ilmuwan dalam membentuk ilmu pengetahuan. Melalui pelaksanaan fungsi dan tugas dalam menganalisis prosedur ilmu pengetahuan tersebut, maka epistemologi dapat memberikan pengayaan gambaran proses terbentuknya pengetahuan ilmiah. Proses ini lebih penting daripada hasil, mengingat bahwa proses itulah menunjukkan mekanisme kerja ilmiah dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Akhirnya, epistemologi bisa menentukan cara kerja ilmiah yang paling efektif dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya terandalkan.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Dalam filsafat, banyak konsep dari pemikiran filosof yang kemudian mendapat serangan yang tajam dari pemikiran filosof lain berdasarkan pendekatan-pendekatan epistemologi. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan yang membantu seseorang dalam melakukan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Koreksi secara kontinyu terhadap pemikirannya sendiri ini untuk menyempurnakan argumentasi atau alasan supaya memperoleh hasil pemikiran yang maksimal. Ini menunjukkan bahwa epistemologi bisa mengarahkan seseorang untuk mengkritik pemikiran orang lain (kritik eksternal) dan pemikirannya sendiri (kritik internal). Implikasinya, epistemologi senantiasa mendorong dinamika berpikir secara korektif dan kritis, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatif mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Dinamika pemikiran tersebut mengakibatkan polarisasi pandangan, ide atau gagasan, baik yang dimiliki seseorang maupun masyarakat. Mohammad Arkoun menyebutkan, bahwa keragaman seseorang atau masyarakat akan dipengaruhi pula oleh pandangan epistemologinya serta situasi sosial politik yang melingkupinya. Keberangaman pandangan seseorang dalam mengamati suatu fenomena akan melahirkan keberagaman pemikiran. Kendati terhadap satu persoalan, tetapi karena sudut pandang yang ditempuh seseorang berbeda, pada gilirannya juga menghasilkan pemikiran yang berbeda. Kondisi demikian sesungguhnya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah suatu kelaziman, tidak ada yang aneh sama sekali, sehingga perbedaan pemikiran itu dapat dipahami secara memuaskan dengan melacak akar persoalannya pada perbedaan sudut pandang, sedangkan perbedaan sudut pandangan itu dapat dilacak dari epistemologinya
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya. Jadi kronologinya adalah sebagai berikut: mula-mula seseorang berpikir dan mengadakan perenungan, sehingga didapatkan percikan-percikan pengetahuan, kemudian disusun secara sistematis menjadi ilmu pengetahuan (sains). Akhirnya ilmu pengetahuan tersebut diaplikasikan melalui teknologi, technology is an apllied of science (teknologi adalah penerapan sains). Pemikiran pada wilayah proses dalam mewujudkan teknologi itu adalah bagian dari filsafat yang dikenal dengan epistemologi. Berdasarkan pada manfaat epistemologi dalam mempengaruhi kemajuan ilmiah maupun peradaban tersebut, maka epistemologi bukan hanya mungkin, melainkan mutlak perlu dikuasai.
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993)

                                                                             BAB IV
                                                                           PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri   esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
2. Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
3. Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.



B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka setiap pembahasan mengenai ilmu pengetahuan diharapkan melalui kajian landasan filosofis, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi agar supaya upaya dan usaha yang menjadi pembaharuan dalam teknologi informasi dan komunikasi pendidikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih hendaknya di imbangi dengan kebijaksanaan pemakaian dan penggunaannya, jangan sampai teknologi membuat kita menjadi bermalas-malasan.














Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment